makhluk ajaib

KURIKULUM HILDA TABA

Picture
I. PENDAHULUAN

Kurikulum dan pembelajaran merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Sebagai suatu rencana atau program, kurikulum tidak akan bermakna manakala tidak diimplementasikan dalam bentuk pembelajaran. Demikian juga sebaliknya, tanpa kurikulum yang jelas sebagai acuan, maka pembelajaran tidak akan berlangsung secara efektif. Sedangkan untuk mengembangkan kurikulum sendiri mempunyai bermacam – macam model.


II. RUMUSAN MASALAH

1. Ada Berapa Macam Model – Model Pengembangan Kurikulum itu Dibagi ?
2. Bagaimana Penjelasan Model – Model Kurikulum tersebut ?


III. PEMBAHASAN

A. Pengertihan Model
Menurut Good ( 1972 ) dan travers ( 1973 ). Model adalah abstraksi dunia nyata atau representasi perisiwa kompleks atau sistem dalam, dalam bentuk naratif, matematis grafis, serta lambang – lambang lainnya . Model bukanlah realitas, akan tetapi merupakan representasi realitas yang dikembangkan dari keadaan. Dengan demikian, model pada dasarnya berkaitan dengan rancangan yang dapat digunakan untuk menerjemahkan sesuatu ke dalam realitas, yang sifatnya lebih praktis .

B. Fungsi Model
Model mempunyai beberapa fungsi :
1. sebagai sarana mempermudah komunikasi;
2. sebagai penunjuk yang bersifat perspektif untuk mengambil keputusan;
3. sabagai petunjuk perencanaan untuk kegiatan pengelolaan.

C. Model – model Pengembangan Kurikulum
Dalam pengembangan kurikulum ada bebrapa model yang dapat digunakan. Setiap model memiliki kekhasan tertentu baik dilihat dari keluasan pengembangan kurikulumnya, maupun dari tahapan pengebangannya sesuai dengan pendekatannya.
1. Model Tyler
Pengembangan kurikulum yang ditemukan dalam buku klasik yang samapi sekarang banyak dijadikan rujukan dalam proses pengembangan kurikulum yang berjudul Basic Prinsiples of Curriculum and Instuktion.
Model pengembangan ini lebih bersifat bagaimana merancang suatu kurikulum, sesuai dengan tujuan dan misi suatu institusi pendidikan . Model ini tidak menguraikan pengembangan kurikulum dalam bentuk langkah – langkah konkrit atau tahapan – tahapan secara rinci, akan tetapi lebih memberikan dasar – dasar pengembangannya saja. Menurut Tyler ada 4 hal yang dianggap fundamental utuk mengembangkan kurikulum, yaitu :
a. Menentukan tujuan
Dalam penyusunan suatu kurikulum, tujuan merupakan langkah pertama dan utam yang harus dikerjakan. Sebab, tujuan merupakan arah atau sasaran pendidikan. Hendak dibawa ke mana anak didik ? kemampuan apa yang harus dimiliki anak didik setelah mengikuti pragram pendidikan?.
Lalu sebenarnya dari mana dan bagaimana kiya menentukan tujuan pendidikan ?
Tyler menjelaskan bahwa sumber perumusan tujuan dapat berasal dari siswa, studi kehidupan masa kini, disiplin ilu, filosofis, dan psikologi belajar.
Merumuskan tujuan kurikulum, sebenarnya sangat tergantung dari teori dan filsafat pendidikan serta model kurikulum apa yang dianut. Macam – macam tujuan kurikulum :
1 ) Tujuan kurikulum bersifat " disipline oriented "
Penguasaan berbagai konsep atau teori seperti yang tergambar dalam disiplin ilmu.
2 ) Tujuan kurikulum bersifat " child centered "
Kurikulum yang lebih berpusat kepada pengembangan pribadi siswa. Maka yang menjadi sumber utama adalah siswa, baik yang berhubungan dengan bakat, minat, serta kebutuhan membekali hidupnya.
3 ) Tujuan kurikulum bersifat " society centered "
Ini lebih memosisikan kurikulum sekolah sebagai alat untuk memperbaiki kehidupan masyarakat.

b. Menentukan Pengalaman Belajar
Pengalaman belajar adalah segala atifitas siswa dalam berinteraksi dengan lingkungan. Pengalaman belajar bukanlah isi atau materi pelajaran dan bukan pula aktivitas guru memberikan pelajaran. Pengalaman belajar lebih menunjuk kepada aktivitas siswa di dalam proses pmebelajaran. Untuk itulah yang harus dipertanyakan dalam pengalaman in adalah " apa yang akan atau telah dilakukan siswa, bukan apa yang akan atau telah diperbuat oleh guru ". untuk itulah guru sebagai pengemban kurikulum mestinya memahami apa minat siswa, serta bagaimana latar belakangnya.
Ada beberapa prinsip dalam menentukan pengalaman belajar siswa :
1) Pengalaman siswa harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai;
2) Setiap pengalaman belajar harus memuaskan siswa;
3) Setiap rancangan pengalaman siswa belajar sebaiknya melibatkan siswa;
4) Mungkin dalam satu pengalaman belajar dapat mencapai tujuan yang berbeda.
c. Mengorganisasi Pengalaman Belaja
Mengorganisasi belajar baik dalam bentuk unit mata pelajaran, maupun dalam bentuk program, pengorganisasian ini sangatlah penting.
Ada 2 jenis pengorganisasian pengalaman beajar :
1) pengorganisasian secara vertikal : yaitu menghubungkan pengalaman belajar dalam satu kajianyang sama dalam tingkat yang berbeda. Misal : pengorganisasian pengalaman belajar yang menghubungkan antara bidang geografi dikelas lima dan kelas enam.
2) Pengorganisasian secara horisntal : yaitu menghubungkan pengalaman belajar dalam bidang geografi dan sejarah dalam tingkat yang sama.
Menurut Tyler ada beberapa prinsip dalam mengorganisasi pengalaman belajar :
1) Kontinuitas bersifat vertikal dan horizontal
bersifat vertikal : bahwa pengalaman belajar yang diberikan harus memiliki kesinambungan yang diperlukan untuk mengembangkan pengalaman belajar selanjutnya.
Bersifat horizontal : bahwa pengalaman yang diberikan kepada siswa harus memiliki fungsi dan bermanfaat untuk memperoleh pengalaman belajar dalam bidang lin.
2) Prinsip urutan isi yaitu setiap pengalaman belajar siswa harus memerhatikan tingkat penrkembangan siswa .

d. Evaluasi
Proses evaluasi merupakan langkah yang sangat penting untuk mendapatkan informasi tentang ketercapaian tujuan yang telah ditetapkan.
Ada 2 aspek yang perlu diperhatikan sehubungan dengan evaluasi :
1) Evaluasi harus menilai apakah telah terjadi perubahan tingkah laku siswa sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah dirumuskan.
2) Evaluasi sebaiknya menggunakan lebih dari satu alat penilaian dalam suatu waktu tertentu.
Selanjutnya ada fungsi evaluasi :
1) Fungsi sumatif : evaluasi digunakan untuk memperoleh data tentang ketercapaian tujuan oleh peserta didik.
2) Fungsi formatif : untuk melihat efektifitas proses pembelajaran, apakah program yang disusun telah dianggap sempurna atau perlu perbaikan.

2. Model Taba
Berbeda dengan model yang dikembangkan Tyler, model Taba lebih menitikberatkan kepada bagaimana mengembangkan kurikulum sebagai suatu proses perbaikan dan penyempurnaan .
Pengembangan kurikulum biasanya dilakukan secara deduktif yang dimulai dari langkah penetuan prinsip – prinsip dan kebijakan dasar, merumuskna desain kurikulum, menyusun unit – unit kurikulum, dan mengimplementasikan kurikulum di dalam kelas.
Hilda Taba tidak sependapat dengan langkah tersebut. Alasannya, pengembangan kurikulum secara deduktif tidak dapat menciptakan pembaruan kurikulum. Oleh karena itu menurut Hilda Taba, kurikulum dikembangkan secara terbalik yaitu denagn pendekatan induktif. Ada 5 langkah penegmbangan kurikulum secara induktif :
1) Menghasilkan unit –unit percobaan ( pilot unit ) melalui langkah – langkah :
a. Mendiagnosis kebutuhan. Pada langkah ini, pengembangan kurikulum memulai dengan menetukan kebutuhan – kebutuhan siswa.
b. Memformulasikan tujuan. Setelah kebutuhan – kebutuhan siswa didiagnosis, selanjutnya para pengembang kurikulum merumuskan tujuan.
c. Memilih isi. Pemilihan isi kurikulum sesuai denagn tujuan. Pemilihan isi bukan hanya didasarkan pada tujuan saja, tetapi juga harus mempertimbangkan segi validitas dan kebermaknaannya untuk siswa.
d. Mengorganisasi isi. Melalui penyeleksi isi, selanjutnya kurikulum yang telah ditentuan itu disusun urutannya, sehingga tampak pada tingkat atau kelas berapa sebaiknya kurikulum itu diberikan.
e. Memilih pengalaman belajar. Menentukan pengalaman – pengalaman belajar yang harus dimiliki siswa untuk mencapai tujuan kurikulum.
f. Mengorganisasi pengalaman belajar. Guru selanjutnya menentukan bagaimana mengemas pengalaman – pengalaman belajar yang telah ditentukan itu ke dalam paket – paket kegiatan.
g. Menentukan alat evaluasi serta prosedur yang harus dilakukan siswa. Pada tahap ini guru menyeleksi berbagai teknikyang dapat dilakukan untuk menilai prestasi siswa.
h. Menguji keseimbangan isi kurikulum. Pengujian ini perlu dilakukan untuk melihat kesesuaian antara isi, pengalaman belajar, dan tipe – tipe belajar siswa.
2) Menguji unit eksperimen untuk memperoleh data dalam rangka menemukan validitas dan kelayakan penggunanya;
3) Merevisi dan mengonsolidasikan unit –unit eksperimen berdasarkan data yang diperoleh dalam uji coba;
4) Mengembangkan keseluruhan kerangka kurikulum;
5) Implementasi dan diseminasi kurikulum yang telah teruji. Pada tahap akhir ini perlu dipersiapkan guru – guru melalui penataran- penataran, lokakarya, dan lain sebagainya serta mempersiapkan fasilitas dan alat – alat sesuai dengan tuntutan kurikulum.




3. Model Oliva
Menurut Oliva suatu model kurikulum harus bersifat simpel, komprehensif dan sistematik .
Dalam mengembangkan kurikulum ada 12 komponen yang satu sama lain saling berkaitan :
1) Perumusan filosofis, sasaran, misi, serta visi lembaga pendidikan, yang kesemuanya bersumber dari analisis kebutuhan siswa dan kebutuhan masyarakat;
2) Kebutuhan masyarakat di mana sekolah itu berada, kebutuhan siswa dari urgensi dari disiplin ilmu yang harus diberikan oleh sekolah;
3) Tujuan umum yang didasarkan pada komponen 1 dan 2;
4) Tujuan khusus yang didasarkan pada komponen 1 dan 2;
5) Bagaimana mengorganisasi rancangan dan mengimplementasikan kurikulum;
6) Menjabarkan kurikulum dalam bentuk tujuan umum;
7) Menjabrkan kurikulum dalam bentuk tujun khusus;
8) Menetapkan strategi pembelajaran yang dimungkinkan dapat mencapai tujuan;
9) Teknik penilaian;
10) Pengembangan kurikulum;
11) Evaluasi pembelajaran;
12) Evaluasi kurikulum.

4. Model Beauchamp
Model ini dinamakan sistem Beauchamp, karena memang diciptakan dan dikembangkan oleh Beauchamp seorang ahli kurikulum.
Beauchamp mengemukakan ada lima langkah dalam proses pengembangan kurikulum :
1) Menetapkan wilayah atau arena yang akan melakukan perubahan suatu kurikulum. Wilayah itu bisa terjadi pada hanya satu sekolah, satu kecamatan, atau mungkin tingkat propinsi, dan tingkat nasional.
2) Menetapkan orang-orang yang akan terlibat dalam proses pengembangan kurikulum. Beauchamp, menyarankan untuk melibatkan seluas-luasnya para tokoh di masyarakat. Orang-orang yang harus dilibatkan itu terdiri dari para ahli / spesialis kurikulum, para ahli pendidikan termasuk di dalamnya para guru yang dianggap berpengalaman, para profesional lain dalam bidang pendidikan ( seperti pustakawan, laporan, konsultan pendidikan dan lain sebagainya ), dan para profesional dalam bidang lain beserta para tokoh masyarakat ( para politikus, industriawan, pengusaha, dan lain sebagainya ).
3) Menetapkan prosedur yang akan ditempuh, yaitu dalam hal merumuskan tujuan umum dan tujuan khusus, memilh isi dan pengalaman belajar serta menetapkan evaluasi.
Keseluruhan prosedur itu selanjutnya dapat dibagi dalam lima langkah :
a) Membentuk tim pengembang kurikulum
b) Melakukan penelitian terhadap kurikulum yang sedang berjalan
c) Melakukan studi atau penjajakan tentang penentuan kurikulum baru
d) Merumuskan kriteria dan alternatif pengembangan kurikulum
e) Menyusun dan menulis kurikulum yang dikehendaki.
4) Implementasi kurikulum. Pada tahap ini perlu dipersiapkan secara matang berbagai hal yang dapat berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap efektifitas penggunaan kurikulum, seperti pemahaman guru tentang kurikulum itu sarana atau fasilitas yang tersedia, manajemen sekolah , dan lain sebagainya.
5). Melaksanakan evaluasi kurikulum yang menyangkut :
a) Evaluasi terhadap pelaksanaan kurikulum oleh guru-guru disekolah
b) Evaluasi terhadap desain kurikulum
c) Evaluasi keberhasilan anak didik
d) Evaluasi sistem kurikulum

5. Model Wheeler
Menurut Wheeler, pengembangan kurikulum merupakan suatu proses yang membentuk lingkaran. Proses pengembangan kurikulum terjadi secara terus-menerus . Wheeler berpendapat proses pengembangan kurikulum terdiri dari lima fase ( tahap ). Setiap tahap merupakan pekerjaan yang berlangsung secara sistematis atau berurut. Artinya kita tidak mungkin dapat menyelesaikan tahapan kedua, manakala tahapan pertama belum terselesaikan. Namun demikian, manakala setiap tahap sudah selesai dikerjakan, kita akan kembali pada tahap awal. Demikian proses pengembangan sebuah kurikulum berlangsung tanpa ujung.
Wheeler berpendapat, pengembangan kurikulum terdiri atas lima tahap, yakni :
1) Menentukan tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum bisa merupakan tujuan yang bersifat normatif yang menagandung tujuan filosofis (aim) atau tujuan pembelajaran umum yang bersifat praktis ( goals ). Sedangkan tujuan khusus adalah tujuan yang bersifat spesifik dan observable (objective) yakni tujuan yang mudah diukur ketercapainnya;
2) Menentukan pengalaman belajar yang mungkin dapat dilakukan oleh siswa untuk mencapai tujuan yang dirumuskan dalam langkah pertama;
3) Menentukan isi atau materi pembelajaran sesuai dengan pengalaman belajar;
4) Mengorganisasi atau menyatukan pengalaman belajar;
5) Melakukan evaluasi setiap fase pengembangan dan pencapain tujuan.

Dari langkah-langkah pengembangan kurikulum yang dikemukakan Wheeler, maka tampak bahwa pengembanga kurikulum membentuk sebuah siklus (lingkaran). Pada hakekatnya setiap tahapan pada siklus membentuk sebuah sistem yang terdiri dari komponen-komponen pengembangan yang saling bergantung satu sama lainnya.

6. Model Nicholls
Model pengembangan kurikulum Nichools menggunakan pendekatan siklus seperti model Wheeler. Model Nichools digunakan apabila ingin meyusun kurikulum baru yang diakibatkan oleh terjadinya perubahan situasi .
Ada lima langkah pengembanga kurikulum menurut Nichools, yaitu :
1) Analisis situasi;
2) Menentukan tujuan khusus;
3) Menentukan dan mengorganisasi isi pelajaran;
4) Menentukan dan mengorganisasi metode;
5) Evaluasi.

7. Model Dynamic Skilbeck
Menurut Skilbeck, model pengembangan kurikulum yang ia namakan model Dynamic, adalah model pengembangan kurikulum pada level sekolah (school Nased Cuurriculum Development) .
Skilbeck menjelaskan model ini diperuntukkan untuk setiap guru yang ingin mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan sekolah. Agar proses pengembangan berjalan dengan baik, maka setiap pengembangan termasuk guru perlu memahami lima elemen pokok yang dimulai dari menganalisis sesuatu sampai pada melakukan penilaian. Skilbeck menganjurkan model pengembangan kurikulumyang ia susun dapat dijadikan alternaf dalam pengembangan kurikulum tingkat sekolah.
Menurut Skilbeck langkah-langkah pengembangan kurikulum adalah :
1) Menganalisis situasi;
2) Memformulasikan tujuan;
3) Menyusun program;
4) Interpretasi dan implementasi;
5) Monitoring, feedback, penilaian, rekonstruksi.


IV. KESIMPULAN
Model – model pengembangan kurikulum ada 7 macam :
1. Model Tyler
2. Model Taba
3. Model Oliva
4. Model Beauchamp
5. Model Wheeler
6. Model Nicholls
7. Model Dynamic Skilbeck
V. PENUTUP
Demikianlah makalah yang kami susun mengenai Model – Model Pengembangan Kurikulum, untuk itu kita pelajari apakah kurikulum yang di terapkan di madrasah – madrasah atau sekolah – sekolah yang ada di sekitar kita sudah sesuai dengan model – model pengembangan kurikulum tersebut atau belum. Dan pada akhirnya masukan – masukan ataupun kritikan – kritikan yang konstruktif sangatlah kami nantikan guna membenahi makalah kami yang akan datang.


TEORI KEPEMIMPINAN

Picture
Kepemimpinan adalah sebuah proses mempengaruhi orang lain untuk melaksanakan tugas-tugas organisasi secara suka rela (Fairholm, 1991; Gardner, 2000). Bahkan menurut Gemmil dan Oakley (1992) kepemimpinan adalah sebuah proses kerjasama antara anggota organisasi dalam merumuskan metode baru untuk meningkatkan kualitas organisasi. Fulan (2000, hal. 3) mengatakan bahwa “leadership is a process of persuasion or example by which an individual (or leadership team) induce the group to pursue objectives shared by the leaders and his or her followers”. Fulan berpendapat bahwa kepemimpinan adalah suatu proses untuk mempengaruhi anggota organisasi lainnya untuk mencapai tujuan yang sudah dirumuskan oleh pemimpin dan anggota organisasi lainnya. Ini artinya bahwa kepemimpinan bukan hanya didefinisikan dari sudut jabatan, tapi lebih tepatnya, kepemimpinan ini adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain tanpa paksaan untuk mencapai sesuatu yang sudah dirumuskan sebelumnya oleh anggota organisasi.


KEPEMIMPINAN DAN MANAJEMEN
Istilah kepemimpinan dan manajemen seringkali dianggap sinonim (Yukl, 1989), tapi para ahli ilmu kepemimpinan masih mengalami kesulitan membedakan kedua istilah tersebut. Fairholm (1991) menyebutkan walaupun kedua istilah tersebut sering dianggap sama, istilah kepemimpinan lebih duluan muncul dari pada istilah manejemen. Namun Nicholls (2002) berbeda pendapat dengan Fairholm, Nicholls berpendapat bahwa manajemen itu lebih penting daripada kepemimpinan. Para ahli juga berbeda pendapat apakah seseorang bisa menjadi pemimpin sekaligus manajer pada saat yang sama. Perbedaan-perbedaan pendapat ini pulalah yang mengaburkan perbedaan antara kepemimpinan dengan manajemen (leadership and management).
Namun demikian, di sini perbedaan dari kedua istilah tersebut akan dianalisa dengan menguraikan definisi dari kedua istilah tersebut. Kepemimpinan adalah sebuah proses di dalam memberi inspirasi kepada anggota organisasi lainnya, dan mempengaruhi anggota tersebut untuk memiliki integritas di dalam mencapai tujuan organisasi. Dengan kata lain, pemimpin itu bertugas untuk menentukan visi organisasi dan selalu memprediksi kebutuhan masa depan (Fairholm, 1991). Sedangkan tugas menejer adalah mengelola integritas bawahan dan mempertahankan status Quo. Menejer tidak berinisiatif untuk menentukan visi organisasi. Singkatnya menejer lebih memikirkan bagaimana suatu pekerjaan itu dilakukan dengan se-efektif dan se-efesien mungkin sehingga produktifitas organisasi bisa terjaga.




TEORI KEPEMIMPINAN



1. TEORI KEPEMIMPINAN CONTINGENCY FIEDLER (Matching Leaders and Tasks)
Fiddler mendefinisikan efektivitas pemimpin dalam hal performa grup dalam mencapai tujuannya. Fiddler membagi tipe pemimpin menjadi 2: yang berorientasi pada tugas dan yang berorientasi pada maintenance. Dari observasi ini ditemukan fakta bahwa tidak ada korelasi konsisten antara efektifitas grup dan perilaku kepemimpinan.
Pemimpin yang berorientasi pada tugas akan efektif pada 2 set kondisi.
• Pada set yang pertama, pemimpin ini sangat memiliki hubungan yang baik dengan anggotanya, tugas yang didelegasikan pada anggota sangat terstruktur dengan baik, dan memiliki posisi yang tinggi dengan otoritas yang tinggi juga. Pada keadaan ini, grup sangat termotivasi melakukan tugasnya dan bersedia melakukan tugas yang diberikan dengan sebaik-baiknya.
• Pada set yang kedua, pemimpin ini tidak memiliki hubungan yang baik dengan anggotanya, tugas yang diberikan tidak jelas, dan memiliki posisi dan otoritas yang rendah. Dalam kondisi semacam ini, pemimpin mempunyai kemungkinan untuk mengambil alih tanggung jawab dalam mengambil keputusan, dan mengarahkan anggotanya.
Kepemimpinan tidak akan terjadi dalam satu kevakuman sosial atau lingkungan. Para pemimpin mencoba melakukan pengaruhnya kepada anggota kelompok dalam kaitannya dengan situasi2 yg spesifik.Karena situasi dapat sangat bervariasi sepanjang dimensi yang berbeda, oleh karenanya hanya masuk akal untuk memperkirakan bahwa tidak ada satu gaya atau pendekatan kepemimpinan yang akan selalu terbaik. Namun, sebagaimana telah kita pahami bahwa strategi yg paling efektif mungkin akan bervariasi dari satu situasi ke situasi lainnya.
Penerimaan kenyataan dasar ini melandasi teori tentang efektifitas pemimpin yang dikembangkan oleh Fiedler, yang menerangkan teorinya sebagai Contingency Approach.Asumsi sentral teori ini adalah bahwa kontribusi seorang pemimpin kepada kesuksesan kinerja oleh kelompoknya adalah ditentukan oleh kedua hal yakni karakteristik pemimpin dan dan oleh berbagai variasi kondisi dan situasi. Untuk dapat memahami secara lengkap efektifitas pemimpin, kedua hal tsb harus dipertimbangkan.
Fiedler memprediksi bahwa para pemimpin dengan Low LPC yakni mereka yang mengutamakan orientasi pada tugas, akan lebih efektip dibanding para pemimpin yang High LPC, yakni mereka yang mengutamakan orientasi kepada orang/hubungan baik dengan orang apabila kontrol situasinya sangat rendah ataupun sangat tinggi.
Sebaliknya para pemimpin dengan High LPC akan lebih efektif dibanding pemimpin dengan Low LPC apabila kontrol situasinya moderat.




2. MODEL KEPEMIMPINAN NORMATIF MENURUT VROOM DAN YETTON (Normative Theory: Decision Making and Leader Effectiveness: Vroom & Yetton, 1973)
Salah satu tugas utama dari seorang pemimpin adalah membuat keputusan. Karena keputusan2 yg dilakukan para pemimpin sering kali sangat berdampak kpd para bawahan mereka, maka jelas bahwa komponen utama dari efektifitas pemimpin adalah kemampuan mengambil keputusan yang sangat menentukan keberhasilan ybs melaksanakan tugas2 pentingnya. Pemimpin yang mampu membuat keputusan dengan baik akan lebih efektif dalam jangka panjang dibanding dengan mereka yg tidak mampu membuat keputusan dengan baik. Dalam mengambil keputusan, bagaimana pemimpin memperlakukan bawahannya? Dengan kata lain seberapa jauh para bawahannya diajak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan?
Sebagaimana telah kita pahami bahwa partisipasi bawahan dalam pengambilan keputusan dapat meningkatkan kepuasan kerja, mengurangi stress, dan meningkatkan produktivitas.Namun seberapa jauh partisipasi bawahan dalam pengambilan keputusan akan diberikan pemimpinnya? Jawabannya adalah Normative Theory dari Vroom and Yetton.
Vroom dan Yetton (1973) mengembangkan model kepemimpinan normatif dalam 3 kunci utama: metode taksonomi kepemimpinan, atribut-atribut permasalahan, dan pohon keputusan (decision tree). 5 tipe kunci metode kepemimpinan yang teridentifikasi (Vroom & Yetton, 1973):
1. Autocratic I: membuat keputusan dengan menggunakan informasi yang saat ini terdapat pada pemimpin.
2. Autocratic II: membuat keputusan dengan menggunakan informasi yang terdapat pada seluruh anggota kelompok tanpa terlebih dahulu menginformasikan tujuan dari penyampaian informasi yang mereka berikan.
3. Consultative I: berbagi akan masalah yang ada dengan individu yang relevan, mengetahui ide-ide dan saran mereka tanpa melibatkan mereka ke dalam kelompok; lalu membuat keputusan.
4. Consultative II: berbagi masalah dengan kelompok, mendapatkan ide-ide dan saran mereka saat diskusi kelompok berlangsung, dan kemudian membuat keputusan.
5. Group II: berbagi masalah yang ada dengan kelompok, mengepalai diskusi kelompok, serta menerima dan menerapkan keputusan apapun yang dibuat oleh kelompok.
Tidak ada satupun dari metode ini yang dianggap terbaik untuk diterapkan pada berbagai situasi. Para pemimpin harus mencocokkan metode kepemimpinan dengan situasi yang ada. Ada 7 atribut dari situasi yang harus diambil dalam memutuskan metode kepemimpinan seperti apa yang harus digunakan (Vroom & Yetton, 1973):
1. Adakah kualitas lain yang lebih rasional daripada solusi yang telah ada?
2. Apakah saya memiliki informasi dan keahlian yang cukup untuk membuat sebuah keputusan yang berkualitas tinggi?
3. Apakah masalahnya terstruktur?
4. Apakah penerimaan subordinat saya terhadap keputusan yang saya buat akan mempengaruhi efektivitas dalam implementasi keputusan saya?
5. Jika saya harus membuat keputusan sendiri, apakah keputusan saya dapat diterima secara beralasan oleh subordinat saya?
6. Apakah subrodinat saya memiliki tujuan organisasi yang sama dengan saya saat memecahkan masalah ini?
7. Apakah konflik akan terjadi di kalangan subordinat saya ketika solusi ini terpilih?
Jawaban-jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut terspesifikasi melalui metode kepemimpinan macam apa yang paling tepat diterapkan pada situasi tertentu. Jawaban “ya” dan “tidak” akan mengarah pada pohon keputusan (decision tree) yang membantu pemimpin untuk melanjutkan tanggungjawabnya. Aturan Yang Dirancang Untuk Mendukung Dan Melindungi Hasil Penerimaanm Keputusan ; Vroom & Yetton, 1973:
1. Penerimaan Aturan: Jika penerimaan oleh bawahan sangat penting untuk pelaksanaan yang efektif, menghilangkan gaya otokratis.
2. Konflik Aturan: Jika penerimaan oleh bawahan sangat penting untuk pelaksanaan yang efektif, dan mereka memegang pendapat yang saling bertentangan atas sarana untuk mencapai beberapa tujuan, menghilangkan gaya otokratis.
3. Keadilan Aturan: Jika kualitas keputusan penerimaan tidak penting tapi penting, gunakan gaya yang paling partisipatif.
4. Penerimaan Aturan Prioritas: Jika penerimaan sangat penting dan tidak pasti hasil dari keputusan otokratis, dan jika súbor-dinates tidak termotivasi untuk mencapai tujuan organisasi, gunakan gaya yang sangat partisipatif.
3. TEORI PATH-GOAL DALAM KEPEMIMPINAN
Sekarang ini salah satu pendekatan yang paling diyakini adalah teori path-goal, teori path-goal adalah suatu model kontijensi kepemimpinan yang dikembangkan oleh Robert House, yang menyaring elemen-elemen dari penelitian Ohio State tentang kepemimpinan pada inisiating structure dan consideration serta teori pengharapan motivasi.
Menurut teori path-goal, suatu perilaku pemimpin dapat diterima oleh bawahan pada tingkatan yang ditinjau oleh mereka sebagai sebuah sumber kepuasan saat itu atau masa mendatang. Perilaku pemimpin akan memberikan motivasi sepanjang (1) membuat bawahan merasa butuh kepuasan dalam pencapaian kinerja yang efektif, dan (2) menyediakan ajaran, arahan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan dalam kinerja efektif (Robins, 2002).
Bawahan sering berharap pemimpin membantu mengarahkan mereka dalam mencapai tujuan. Dengan kata lain bawahan berharap para pemimpin mereka membantu mereka dalam pencapaian tujuan2 bernilai mereka. Ide di atas memainkan peran penting dalam House’s path-goal theory yang menyatakan bahwa kegiatan2 pemimpin yang menjelaskan bentuk tugas dan mengurangi atau menghilangkan berbagai hambatan akan meningkatkan persepsi para bawahan bahwa bekerja keras akan mengarahkan ke kinerja yg baik dan kinerja yg baik tsb selanjutnya akan diakui dan diberikan ganjaran.
Model kepemimpinan path-goal berusaha meramalkan efektivitas kepemimpinan dalam berbagai situasi. Menurut model ini, pemimpin menjadi efektif karena pengaruh motivasi mereka yang positif, kemampuan untuk melaksanakan, dan kepuasan pengikutnya. Teorinya disebut sebagai path-goal karena memfokuskan pada bagaimana pimpinan mempengaruhi persepsi pengikutnya pada tujuan kerja, tujuan pengembangan diri, dan jalan untuk menggapai tujuan.
Model path-goal menjelaskan bagaimana seorang pimpinan dapat memudahkan bawahan melaksanakan tugas dengan menunjukkan bagaimana prestasi mereka dapat digunakan sebagai alat mencapai hasil yang mereka inginkan. Teori Pengharapan (Expectancy Theory) menjelaskan bagaimana sikap dan perilaku individu dipengaruhi oleh hubungan antara usaha dan prestasi (path-goal) dengan valensi dari hasil (goal attractiveness). Individu akan memperoleh kepuasan dan produktif ketika melihat adanya hubungan kuat antara usaha dan prestasi yang mereka lakukan dengan hasil yang mereka capai dengan nilai tinggi. Model path-goal juga mengatakan bahwa pimpinan yang paling efektif adalah mereka yang membantu bawahan mengikuti cara untuk mencapai hasil yang bernilai tinggi. Model path-goal menganjurkan bahwa kepemimpinan terdiri dari dua fungsi dasar:
1. Fungsi Pertama; adalah memberi kejelasan alur. Maksudnya, seorang pemimpin harus mampu membantu bawahannya dalam memahami bagaimana cara kerja yang diperlukan di dalam menyelesaikan tugasnya.
2. Fungsi Kedua; adalah meningkatkan jumlah hasil (reward) bawahannya dengan memberi dukungan dan perhatian terhadap kebutuhan pribadi mereka.
Untuk membentuk fungsi-fungsi tersebut, pemimpin dapat mengambil berbagai gaya kepemimpinan. Empat perbedaan gaya kepemimpinan dijelaskan dalam model path-goal sebagai berikut (Koontz et al dalam Kajanto, 2003) :
1. Instrumental (directive) àInstrumental (directive): suatu pendekatan yang berfokus pada penyediaan bimbingan tertentu, menetapkan jadwal kerja dan aturan. Pemimpinan memberitahukan kepada bawahan apa yang diharapkan dari mereka, memberitahukan jadwal kerja yang harus disesuaikan dan standar kerja, serta memberikan bimbingan/arahan secara spesifik tentang cara-cara menyelesaikan tugas tersebut, termasuk di dalamnya aspek perencanaan, organisasi, koordinasi dan pengawasan
2. SupportiveàMendukung: sebuah gaya terfokus pada membangun hubungan baik dengan bawahan dan memuaskan kebutuhan mereka. Pemimpin bersifat ramah dan menunjukkan kepedulian akan kebutuhan bawahan. Ia juga memperlakukan semua bawahan sama dan menunjukkan tentang keberadaan mereka, status, dan kebutuhan-kebutuhan pribadi, sebagai usaha untuk mengembangkan hubungan interpersonal yang menyenangkan di antara anggota kelompok. Kepemimpinan pendukung (supportive) memberikan pengaruh yang besar terhadap kinerja bawahan pada saat mereka sedang mengalami frustasi dan kekecewaan.
3. ParticipativeàPartisipatif: suatu pola di mana pemimpin berkonsultasi dengan bawahan, memungkinkan mereka untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Pemimpin partisipatif berkonsultasi dengan bawahan dan menggunakan saran-saran dan ide mereka sebelum mengambil suatu keputusan. Kepemimpinan partisipatif dapat meningkatkan motivasi kerja bawahan
4. Achievement-orientedàPrestasi berorientasi: suatu pendekatan di mana pemimpin menetapkan tujuan yang menantang dan mencari perbaikan dalam kinerja. Gaya kepemimpinan dimana pemimpin menetapkan tujuan yang menantang dan mengharapkan bawahan untuk berprestasi semaksimal mungkin serta terus menerus mencari pengembangan prestasi dalam proses pencapaian tujuan tersebut.
Terdapat dua faktor situasional yang diidentifikasikan kedalam model teori path-goal, yaitu: personal characteristic of subordinate and environmental pressures and demmand (Gibson, 2003).
1. Karakteristik Bawahan
Pada faktor situasional ini, teori path-goal memberikan penilaian bahwa perilaku pemimpin akan bisa diterima oleh bawahan jika para bawahan melihat perilaku tersebut akan merupakan sumber yang segera bisa memberikan kepuasan atau sebagai suatu instrumen bagi kepuasan-kepuasan masa depan. Karakteristik bawahan mencakup tiga hal, yakni:
1) Letak Kendali (Locus of Control)
Hal ini berkaitan dengan keyakinan individu sehubungan dengan penentuan hasil. Individu yang mempunyai letak kendali internal meyakini bahwa hasil (reward) yang mereka peroleh didasarkan pada usaha yang mereka lakukan sendiri. Sedangkan mereka yang cenderung letak kendali eksternal meyakini bahwa hasil yang mereka peroleh dikendalikan oleh kekuatan di luar kontrol pribadi mereka. Orang yang internal cenderung lebih menyukai gaya kepemimpinan yang participative, sedangkan eksternal umumnya lebih menyenangi gaya kepemimpinan directive.
2) Kesediaan untuk Menerima Pengaruh (Authoritarianism)
Kesediaan orang untuk menerima pengaruh dari orang lain. Bawahan yang tingkat authoritarianism yang tinggi cenderung merespon gaya kepemimpinan yang directive, sedangkan bawahan yang tingkat authoritarianism rendah cenderung memilih gaya kepemimpinan partisipatif.
3) Kemampuan (Abilities)
Kemampuan dan pengalaman bawahan akan mempengaruhi apakah mereka dapat bekerja lebih berhasil dengan pemimpin yang berorientasi prestasi (achievement-oriented) yang telah menentukan tantangan sasaran yang harus dicapai dan mengharapkan prestasi yang tinggi, atau pemimpin yang supportive yang lebih suka memberi dorongan dan mengarahkan mereka. Bawahan yang mempunyai kemampuan yang tinggi cenderung memilih gaya kepemimpinan achievement oriented, sedangkan bawahan yang mempunyai kemampuan rendah cenderung memilih pemimpin yang supportive.
2. Karakteristik Lingkungan
pada faktor situasional ini path-goal menyatakan bahwa perilaku pemimpin akan menjadi faktor motivasi terhadap para bawahan, jika:
1) Perilaku tersebut akan memuaskan kebutuhan bawahan sehingga akan memungkinkan tercapainya efektivitas dalam pelaksanaan kerja.
2) Perilaku tersebut merupakan komplimen dari lingkungan para bawahan yang dapat berupa pemberian latihan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan untuk mengidentifikasikan pelaksanaan kerja.
Karakteristik lingkungan terdiri dari tiga hal, yaitu:
1) Struktur Tugas
Struktur kerja yang tinggi akan mengurangi kebutuhan kepemimpinan yang direktif.
2) Wewenang Formal
Kepemimpinan yang direktif akan lebih berhasil dibandingkan dengan participative bagi organisasi dengan strktur wewenang formal yang tinggi
3) Kelompok Kerja
Kelompok kerja dengan tingkat kerjasama yang tinggi kurang membutuhkan kepemimpinan supportive.
Dengan menggunakan salah satu dari empat gaya di atas, dan dengan memperhitungkan faktor-faktor seperti yang diuraikan tersebut, seorang pemimpin harus berusaha untuk mempengaruhi persepsi para karyawan atau bawahannya dan mampu memberikan motivasi kepada mereka, dengan cara mengarahkan mereka pada kejelasan tugas-tugasnya, pencapaian tujuan, kepuasan kerja dan pelaksanaan kerja yang efektif.
MenurutPath-Goal Theory, dua variabel situasi yang sangat menentukan efektifitas pemimpin adalah karakteristik pribadi para bawahan/karyawan dan lingkungan internal organisasi seperti misalnya peraturan dan prosedur yang ada. Walaupun model kepemimpinan kontingensi dianggap lebih sempurna dibandingkan modelmodel sebelumnya dalam memahami aspek kepemimpinan dalam organisasi, namun demikian model ini belum dapat menghasilkan klarifikasi yang jelas tentang kombinasi yang paling efektif antara karakteristik pribadi, tingkah laku pemimpin dan variabel situasional.


    silahkan tinggalkan komentarnya